Judul : OPINI: Lagi-lagi Rokok
link : OPINI: Lagi-lagi Rokok
OPINI: Lagi-lagi Rokok
ISMAIL YUNUS BETTARY (SKET PENCIL). |
Sesekali melirik ke arah Pak Aswin lalu mengangkat jempol ke setiap pejalan kaki yang melintas di depannya. Seorang lelaki yang saya duga mahasiswa S1 (dengan atribut almamater dan topi) menyalip langkah saya.
Tanpa basa-basi, Pak Aswin langsung menyodorkan androidnya ke tangan mahasiswa itu. Meski dengan raut wajah yang memancarkan aura kekagetan, mahasiwa itu menerima saja tanpa basa-basi. Dia sudah mengerti maksudnya. Dengan tiga kali jepretan, foto Pak Aswin beserta kertas lebarnya, dengan gagah terpampang di galeri. Saya, yang tidak mau ketinggalan adegan tersebut–dengan rasa penasaran yang begitu akut−ikut mendekat.
Singkat cerita, setelah berbincang-bincang kurang lebih sepuluh menit dengan Pak Aswin tentang maksud dan tujuannya di pagi hari itu, terenduslah benang merahnya. Pertama, Pak Aswin dengan tegas dan tandas tentu saja menolak kenaikan harga rokok, yang konon akan melambung tiga kali lipat.
Kedua, mengapa Pak Aswin menolak kenaikan harga tersebut? Jawabannya, Pak Aswin khawatir dengan nasib para petani tembakau−khususnya di jawa timur−dan para karyawan yang bekerja di pabrik rokok. Ketiga, Pak Aswin bekerja di perusahaan percetakan yang berhubungan langsung dengan produksi rokok. Ketika harga rokok naik, maka tentunya akan berimbas ke perusahaan tempatnya bekerja.
Gonjang-Ganjing Harga
Akhir-akhir ini rokok kembali menjadi buah bibir, menjadi gosip klasik yang hangat diperbincangkan di warung kopi, di warteg, wifi corner, di pinggir jalan hingga di kantin-kantin fakultas. Pasalnya tak lain dan tak bukan adalah desas-desus mengenai kenaikan harga itu. Perokok dan pelaku industri pun berlomba-lomba angkat bicara. Pak Aswin selaku perokok aktif adalah salah satu contoh.
Sebelum isu ini merebak, salah satu pabrik rokok, PT Gudang Garam yang berdiri gagah di Kediri, jauh-jauh hari pada tahun 2014 bahkan telah mengesahkan permohonan pensiun dini lebih dari 4 ribu pekerjanya. Hari ini, Walikota Kediri, Abdullah Abu Bakar pun memiliki kekhawatiran ganda.
Dia mensinyalir, PT Gudang Garam akan melanjutkan penghematan besar-besaran dengan pemberlakuan PHK massal andai harga rokok betul-betul mendekati atau menembus angka 50 ribu per bungkusnya.
Sekadar diketahui, wacana kenaikan ini beredar massif di masyarakat setelah adanya studi dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang dipimpin oleh Hasbullah Thabrany.
Menurut Hasbullah, dibutuhkan cara yang luar biasa untuk membatasi konsumsi rokok oleh masyarakat Indonesia yakni menaikan harga belinya hingga tiga kali lipat. Walau begitu, Kementerian Keuangan selaku instansi yang berwenang menetapkan cukai produksi termasuk rokok, sampai hari ini belum memberi keputusan resmi.
Namun jika harga pajak dari tembakau jadi dinaikkan tahun depan, maka harga rokok dengan sendirinya juga akan mengalami kenaikan. Rupa-rupanya inilah yang menjadi kegundahan bagi sekelompok orang yang memiliki relasi kuat dengan rokok. Mulai dari petani tembakau, pabrik rokok, pedagang asongan yang menjajakan rokok di perempatan jalan, halte dan terminal, pekerja yang ada sangkut pautnya dengan rokok seperti Pak Aswin dan tentunya perokok itu sendiri.
Fatwa Setengah Hati
Pada tahun 2009 MUI telah mengeluarkan fatwa terkait keharaman rokok yang berlaku untuk anak-anak, remaja, wanita hamil dan merokok di tempat umum. Namun faktanya, fatwa ini tidak memiliki aplikasi ril di lapangan. Dewasa ini, tidak sulit untuk menjumpai anak-anak hingga remaja sekolah (SMP dan SMA) merokok di sudut-sudut tak terpantau guru maupun orang tua di sekolahnya. Juga begitu gampangnya menjumpai orang-orang yang menyemburkan asap rokoknya di atas angkot yang notabenenya adalah tempat umum.
Terkait rokok, seorang kawan pernah melemparkan leluconnya. Katanya, “merokok mati, tidak merokok mati. Daripada saya mati dan tidak pernah menikmati dan merasakan kecanduan, mending saya merokok saja.” Barangkali memang kawan kita itu hanya sekadar usil, namun ada juga kawan lain yang menanggapi serius. Sebenarnya bukan masalah matinya, tetapi bagaimana proses yang dilalui sebelum mati itu.
Jika matinya langsung, mulus dan tanpa hambatan berarti seperti Haji Said, ulama kharismatik di kampung saya, meninggal dalam kondisi duduk sambil memegang wilang-pilang (bahasa bugis: tasbih)−yang insya Allah khusnul khatimah, itulah yang masuk hitungan. Lain soal kalau mati namun harus dioperasi gara-gara kanker paru-paru atau berbagai penyakit komplikasi lainnya akibat asap rokok.
Tentunya kawan perokok yang lain akan berpikir dua kali untuk berlelucon dan menyebut kata “mati dan “rokok”. Dan lagi, seorang kawan lain di status WA-nya beranalogi: “Mao Zedong, pendiri negara Tiongkok, merokok dan minum arak mampu bertahan hidup hingga usia 83 tahun. Sementara dalam kasus lain, almarhum Adjie Massaid, tidak merokok dan tidak minum arak hanya mampu bertahan di usia 43 tahun dan justru meninggal setelah main futsal.”
Pemerintah Harus Adil
Harus diakui bahwa hasil pendapatan negara dari rokok yang berbentuk cukai memang cukup besar. Menurut kalkulasi, pajak rokok menempati peringkat keempat terbesar setelah pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan badan serta pajak minyak dan gas. Namun pemerintah tentu harus bijaksana dalam setiap pengambilan keputusannya.
Industri dan pengusaha membutuhkan kepastian hukum dalam berusaha, maka pemerintah harus menyediakan iklim investasi yang kondusif berupa izin untuk produksi rokok. Anak-anak, remaja, dan kaum yang tidak merokok juga memiliki hak akan kebutuhan udara bersih yang bebas dari asap rokok terutama di tempat umum.
Jangan sampai perang terhadap narkoba karena mengancam generasi yang hanya menjadi perhatian dan selalu digaungkan pemerintah namun bahaya asap rokok bagi anak-anak justru luput dari pantauan.
Pemerintah dalam hal ini harus tegas dalam pemberlakuan aturan merokok di tempat umum.
Penyediaan area khusus bebas merokok dan sangsi yang tegas bagi yang melanggar adalah keniscayaan. Keniscayaan lainnya adalah, andai cukai tembakau jadi dinaikkan dalam RAPBN tahun depan maka seluruh pihak yang terkait dengan industri rokok harus segera bersiap untuk menyambutnya. Berapapun besaran kenaikan harga rokok, semua pihak harus menerimanya sebagai bagian dari kalkulasi pemerintah terkait fluktuasi cukai tembakau di pasar dunia.
Memang, merokok atau tidak itu tetap kembali ke individu masing-masing. Seperti kata Hendry Ford, “kebenaran terhadap suatu pilihan tergantung atas apa yang kau yakini.” Hanya perlu digaris bawahi, jangan sampai apa yang kita pilih dan yakini benar justru berdampak negatif untuk orang lain.
Saya akhirnya pulang dari kampus setelah duhur. Ternyata Pak Aswin masih di tempatnya namun kertasnya sudah dipaku sembarang ke pohon. Dia nampak manggut-manggut dan lebih tenang. Rokok, katanya, untuk kesekian kali membantunya berpikir sehingga dia berhasil menang catur. “Andai harga rokok jadi naik besar-besaran Dik, mungkin saya tidak bisa berpikir jernih lagi dan tidak bisa konsen main catur lagi,” candanya dengan terkekeh.
PENULIS : ISMAIL YUNUS BETTARY
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang Jurusan Pendidikan Biologi, Alumnus Uin Alauddin Makassar
EDITOR : RISWAN
COPYRIGHT © BONEPOS 2016
Demikianlah Artikel OPINI: Lagi-lagi Rokok
Sekianlah artikel OPINI: Lagi-lagi Rokok kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel OPINI: Lagi-lagi Rokok dengan alamat link https://kabarkatanya.blogspot.com/2016/08/opini-lagi-lagi-rokok.html
0 Response to "OPINI: Lagi-lagi Rokok"
Posting Komentar