OPINI: Refleksi Pendidikan ala Romawi

OPINI: Refleksi Pendidikan ala Romawi - Hallo sahabat KABAR KATANYA, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul OPINI: Refleksi Pendidikan ala Romawi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, Artikel Bone, Artikel Daerah, Artikel Kabar, Artikel Kabar Katanya, Artikel Ragam, Artikel Terbaru, Artikel Update, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : OPINI: Refleksi Pendidikan ala Romawi
link : OPINI: Refleksi Pendidikan ala Romawi

Baca juga


OPINI: Refleksi Pendidikan ala Romawi

OPINI: Refleksi Pendidikan ala Romawi
Asriadi (SKET PENCIL).
Kesejahteraan sebuah bangsa bermula dari karakter kuat warganya. Kata-kata itu  diungkapkapkan Marcus Tulius Cicero (106-43 SM), cendekiawan Republik Roma, untuk mengingatkan semua warga kekaisaran Roma mengenai manfaat praktis kebajikan dalam kehidupan nyata.

Potret betapa pentingnya posisi karakter demi keberlangsungan sebuah bangsa. tidak cukup intelektualitas, karena mentalitas merupakan garda terdepan sebagai pertahanan jati diri bangsa.

Secara gramatikal Karakter diartikan sebagai perilaku atau suatu tindakan yang dibangun berdasarkan pada nilai. NIlai tidak berwujud, melainkan terimplikasi pada prilaku. sebab itu terbangun atas pembiasaan-pembiasaan perilaku baik.

Suyanto (2009), Mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang merupakan ciri khas dari masing-masing individu untuk hidup dan bekerja sama, baik di dalam keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara

Diyakini bahwa semua orang, terutama generasi muda melalui proses belajar yang terarah baik dalam pendidikan formal, non formal maupun informal, dapat membentuk watak sedemikian rupa sehingga berkembang menjadi karakter yang membuatnya sebagai pembeda dengan lainnya.

Hanya saja kita dihadapkan pada kondisi terburuk, dengan degradasi moral luar biasa di kalangan generasi muda. Dengan banyaknya prilaku amoral di lingkup pendidikan. Masih jelas di ingatan, Dasrul, Guru Sekolah Menengah Negeri 2 Makassar yang dianaiaya orang tua siswa dan siswa pada 10 Agustus 2016 lalu, karena keberatan dihukum tidak mengerjakan tugas.

Hanya berselang 15 hari, kita kembali dipertontonkan tindakan amoral di dunia pendidikan, adalah Kolendi Guru olahraga Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kuala Kurun 4, Kalimantan Tengah, dihajar sampai babak belur oleh orang tua siswa lantaran menegur siswanya datang terlambat, pada 25 Agustus 2015.

Pendidikan bangsa ini makin terpuruk, nyaris di titik nadir. Tindakan amoral siswa dalam hubungan sosial dengan masyarakat dari hari ke hari semakin membudaya dan kian dianggap lumrah. Solusi yang diterapkan sebagai langkah taktis, dengan penerbitan peraturan dari pemerintah dianngap belum cukup mengembalikan nilai-nilai moral yang menjadi dasar pendidikan.

Mengadopsi Pendidikan Romawi

Pendidikan karakter gaya Romawi lebih menekankan pada pentingnya keluarga dalam  hal memberikan nilai karakter. Bentuk nyata dari pembentukan karakter dimulai dengan memberikan nilai-nilai moral seperti rasa hormat tradisi leluhur menyediakan generasi masa depan.

Elemen dasar dari pendidikan karakter bergaya Romawi adalah untuk memberikan prioritas kepada nilai-nilai seperti kebaikan, kesetiaan, dan berperilaku sesuai dengan norma-norma masyarakat.(Wikipedia ; 2016).

Selaras dengan pendapat Pelopor pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara memaknai tujuan pendidikan yakni mengajarkan berbagai ilmu kepada anak didik dengan harapan agar anak bisa menjadi pribadi yang baik dan sempurna hidupnya yang selaras dengan masyarakat dan alamnya.

Berawal dari berdirinya Taman Siswa pada 3 Juli 1922, oleh Ki Hajar Dewantara, Sampai saat ini telah ditetapkan jenjang pendidikan umum (Formal) di Indonesia, mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas/Kejuruan , serta Perguruan Tinggi (PT). Justru semakin kehilngan jati diri sebagai bangsa berkarakter.

Sistem pendidikan modern hanya mampu mencetak generasi unggul di bidang intelektual tapi prematur ahklak, moral dan spiritualnya. dianggap perlu menengok kembali dasar sistem pendidikan yang diadopsi dari Romawi, bahwa pendidikan bertumpu pada keluarga sebagai aspek utama dan pertama pembentuk karakter anak sebelum mengenyam pendidikan formal.

Tradisi pendidikan masa lalu memang belum dimanjakan dengan berbagai fasilitas modern. Namun mampu menciptakan komunikasi yang efektif dengan siswa maupun orang tua siswa, dengan acuan konsep pendidikan utama adalah keluarga.

Berbeda dengan saat ini siswa difasilitasi media pembelajaran inovatif sampai dimanjakan oleh "mbah" google yang bisa diakses dengan mudahnya tanpa pengawasan yang ketat. Hal ini justru menciptakan pembatas komunikasi, sehingga ruang komunikasi sifatnya "transaksional" antara siswa memenuhi haknya dan guru sekadar menggugurkan tanggungjawab.

Keluarga Pondasi Karakter

Merefleksi pengalaman pribadi penulis yang mengenyam pendidikan di era 90-an, tingkat penghormatan kepada guru sangat kental. Bahkan petuah pertama dari orang tua sebagai bekal pertama masuk sekolah, "Jangan mencela atap rumah guru sebabitu dosa, apalagi sampai berani melawan", jadi bisa dibayangkan penghargaan terhadap guru kala itu sangat tinggi.

Hal ini menggambarkan pembentukan karakter siswa justru dimulai dari keluarga, selanjutnya kerjasama guru, orang tua dan masyarakat dalam hubungan sosial.

Bertolak dari fenomena yang berkembang, maka pentingnya membangun karakter generasi muda perlu diupayakan dengan sunguh-sungguh. Pada tahap ini dibutuhkan pelibatan seluruh stakeholder, mulai dari orang tua, masyarakat, dan lembaga pemerhati pendidikan non pemerintah (komunitas).

Laura M Ramirez (2006), berpendapat Apabila orangtua mampu menunjukkan kepada anak betapa orangtua sangat mencintai dan menyayanginya, dengan selalu mengekspresikan perhatian secara mendetail terhadap kehidupan anak sejak ia masih kecil, maka hal ini akan menciptakan suatu kebiasaan intim seumur hidup yang memberikan manfaat bagi orangtua.

Diperlukan keteladanan untuk mengawalinya terjadinya perubahan sikap, ditandai dengan adanya feelinghal ini didapatkan dalam lingkup keluarga, dan dirangsang karena adanya tujuan.Lebih lanjut elemen masyarakat juga perlu terlibat sebagai fungsi control di lingkungan sosial. Sehingga secara sadar bersama-sama terlibat menjadikan pendidikan sebagai gerakan membentuk karakter bangsa yang dimulai dari keteladanan keluarga.(*)


PENULIS : ASRIADI
Penulis merupakan Alumni PGSD Universitas Negeri Makassar (UNM) - Mahasiswa Pascasarjana  S2 Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Malang (UM).

 
EDITOR : RISWAN 
COPYRIGHT © BONEPOS 2016


Demikianlah Artikel OPINI: Refleksi Pendidikan ala Romawi

Sekianlah artikel OPINI: Refleksi Pendidikan ala Romawi kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel OPINI: Refleksi Pendidikan ala Romawi dengan alamat link https://kabarkatanya.blogspot.com/2016/09/opini-refleksi-pendidikan-ala-romawi.html

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "OPINI: Refleksi Pendidikan ala Romawi"

Posting Komentar