Judul : Masuk Beranda Depan NKRI dan Jadi Arena Kepentingan Neokolonialisme Internasional Abad 21
link : Masuk Beranda Depan NKRI dan Jadi Arena Kepentingan Neokolonialisme Internasional Abad 21
Masuk Beranda Depan NKRI dan Jadi Arena Kepentingan Neokolonialisme Internasional Abad 21
Kabupaten MBD Layak Mendeklarasikan Dirinya Calon Provinsi Perbatasan
Oleh Rony Samloy
RENCANA pendeklarasian pemekaran calon Provinsi Perbatasan Maluku Barat Daya di Lapangan Merdeka, Kota Ambon, Maluku, pada Kamis (3/11/2016), seyogianya diletakkan di atas kebutuhan rakyat yang mulia dan bukan bermaksud memuluskan kepentingan elite politik, birokratif dan ’raja-raja kecil’ yang membonceng isu-isu miring pembangunan ’’Jawa Sentris’’ dan ketidakadilan pembagian kue pembangunan secara proporsional untuk pencitraan sesaat.
Tentunya diskursus ini merupakan implementasi dari program Nawacitanya presiden Joko Widodo setelah seratus hari beliau terpilih sebagai orang kuat Indonesia pada pemilu presiden 2014 silam. Mengapa wacana pemekaran Provinsi MBD terkesan sedikit ’sensual’ dideklarasikan?. Keseksian wilayah Maluku Barat Daya (MBD) dipengaruhi pada sejumlah faktor pendukung, di antaranya dari aspek geografis, geoteritorial, geopolitik, geostrategik, dan geoekonomis di samping kekuatan geohistoris, geospiritualistis dan geokulturalis masyarakatnya yang hidup sporadik dari Pulau Wetar (barat) sampai Pulau Masela (timur) dan dari kepulauan Damer (utara) hingga Pulau Meatimiarang (selatan), namun tetap menjunjung tinggi semangat persaudaraan sejati dalam bingkai kebudayaan ’’Mede Melay Patra Lgona’’; perpaduan (asimilasi) kebudayaan Luang dan Timor Besar. Wilayah MBD yang terdiri dari pulau-pulau karang kecil (atol) menjadikan wilayah ini dianugerahi Tuhan dengan sumber daya alam, baik di pegunungan, daratan, perairan maupun di dasar lautan, yang begitu melimpah.
Deposit emas di Wetar, Romang dan pulau-pulau lain, kandungan terbesar Gas Alam Cair (Liquid Natural Gas) di Blok Masela, Blok Moa Selatan, Blok Sermata, Blok Wetar dan blok-blok lain yang masih dalam penawaran ke pasar internasional, dan potensi perikanan yang begitu besar, diyakini bakal memosisikan wilayah MBD sebagai salah satu poros utama dalam peta perebutan kepentingan politik dan ekonomi neokolokolonialisme gaya baru di antara Negara-negara penganut paham Kapitalisme yang dibentangkan Amerika Serikat dan Inggris (dan sekutunya) serta Negara-negara penganut paham Komunisme yang dimotori Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Rusia dan Korea Utara.
Dari pendekatan teritorial, MBD dikategorikan wilayah terdepan, terluar dan tertinggal karena relatif jauh dari otoritas kekuasaan birokratif Maluku di Ambon. Biaya perjalanan dinas dari Ambon ke sejumlah pulau di MBD lebih mahal dari lima kali ongkos perjalanan bus ber-AC dari ibu kota Jakarta menuju Bandung, Jawa Barat. Rentang kendali pemerintahan (spare of control) yang begitu luas menjadikan wilayah itu jauh dari ingar bingar pembangunan dan aktivitas serba metropolis.
Selama lebih kurang 71 tahun, wilayah yang semasa pemerintahan Kolonial Belanda disebut ’’Onder Afdeling Zuidwestern Eilandon’’—Kepulauan Barat Daya—disatirekan dengan ’tenggara jauh’ karena jalur kapal perintis (rute 22) yang selalu menyinggahi banyak pos sebelum sampai tujuan utama. Padahal, jika merujuk secara geografis, selalu ada perbedaan mendasar antara arah mata angin ’’tenggara’’ dan ’’selatan’’, juga ’’timur’’ dan ’’barat’’ atau ’’utara’’ dan ’’selatan’’ dan seterusnya.
Hanya orang tidak berpendidikan saja yang sulit membedakan arah-arah mata angin pada atlas yang disodorkan para pemangku kepentingan. Satu hal yang pasti, meski penduduk MBD hidup di bawah garis kemiskinan dan pernah mengonsumsi biji-bijian semasa kerawanan pangan melanda wilayah itu pada dekade 1960an, tetapi benih-benih separatisme tak pernah tumbuh dan tak akan pernah mekar di hati penduduk di sana. Bagi masyarakat MBD, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah final dan harga mati yang tetap akan dipertahankan mereka hingga langit runtuh.
Kabupaten MBD berada persis pada Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) III yang menempatkan Selat Ombai dan Selat Wetar sebagai jalur damai pelintasan kapal-kapal perang canggih bertenaga nuklir milik AS yang akan menuju pangkalan di Okinawa, Jepang, Subik dan Klark (Filipina), Dili (Republik Demokratik Timor Leste/RDTL) maupun ke Darwin (Australia). Selat Wetar sendiri diprediksi menjadi salah satu selat penting dunia di abad 21, selain Selat Hormuz dan Selat Malaka.
Posisi MBD sebagai wajah Negara, beranda depan NKRI karena berbatasan laut langsung dengan Australia dan RDTL, merupakan posisi strategis karena akan ikut memengaruhi kebijakan geopolitik Indonesia dalam pergulatan politik internasional di tengah maraknya pelbagai kasus dan isu-isu internasional menyangkut terorisme global, human and woman trafficking (perdagangan manusia dan perempuan), perompakan di laut, illegal oil, illegal fishing, imigran gelap, dan pelbagai bentuk perang modern yang diskenariokan secara global oleh Negara-negara adidaya, AS dan Rusia.
Secara geoekonomis, AS dan sekutunya, terutama Belanda, Jepang dan Australia, akan punya kepentingan besar untuk pengelolaan LNG Blok Masela dan blok-blok lain di MBD (maupun blok-blok lain di Maluku). Penguasaan perusahaan minyak dan gas (migas) oleh AS dan sekutunya di MBD menjadikan wilayah itu sebagai ’harta kekayaan Indonesia dan dunia’ di abad serba digital ini. Jika dari abad ke-4 hingga abad ke-20, wilayah Maluku Utara dan Maluku Tengah dijadikan Poros Maritim Dunia berbasis jalur rempah karena daya tarik cengkih, pala, dan kayu manis, yang memaksa bangsa Persia (Iran), Gujarat (India), Mongolia (RRT), Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris) mencari Kepulauan Maluku (The Spices Islands) sehingga memicu munculnya kolonialisme selama 350 tahun lebih di Kepulauan Nusantara, di awal Abad ini dan mungkin juga di Abad 22, justru MBD akan memegang peranan penting dan strategis di tengah peta perpolitikan dan zona perekonomian global.
Bukan tidak mungkin, MBD akan menjadi arena perang kepentingan yang begitu dashyat di antara Negara-negara kapitalis dan komunis. Penempatan pangkalan militer AS di Dili dan Darwin serta keinginan RRT membangun kerja sama telekomunikasi dengan pemerintah RDTL kian membuka tabir adanya perang dingin di antara Negara-negara adidaya tersebut.
Jika membuka lembaran sejarah bangsa ini, Kepulauan Barat Daya (Onder Afdeling Zuidwestern Eilandon) pernah masuk bergabung dalam yurisdiksi pemerintahan ’’Residentie van East’’ (Keresidenan Timor) yang beribu kota di Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kesamaan bahasa dan tradisi, termasuk cara menenun kain dan menggunakan kain tanah dalam serimonial-seremonial adatis, sebenarnya ingin memaparkan lebih lugas betapa masyarakat MBD merupakan bagian dari etnis Timor yang ’menetap sementara’ di Maluku karena pergolakan politik pada dekade 1910 sampai 1920an. Ditarik masuknya sebagian wilayah dalam kekuasaan ’’Sunda Kecil’’: Nusa Tenggara dan pulau-pulau kecil di sekitar pulau Timor:Wetar, Kisar, Leti, Moa, Lakor dan lain-lain ke dalam Keresidenan Amboina pada 1926 melalui Ordonansi November 1926 semestinya dihargai sebagai bentuk kepedulian sekaligus kepatuhan orang MBD pada masa itu kepada penguasa.
Dalam percakapan tentang etika kesejarahan, kini saatnya pula elite politik Maluku ’membalas budi’ masyarakat MBD agar kelak dapat berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan basudara Indonesia lain di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Maluku dan Maluku Utara. Jika Maluku Utara sudah rela ’dilepaskan’ Maluku dan sejak 1999 telah berdiri sebagai Daerah Otonom Baru (DOB), Provinsi Maluku Utara, hal serupa pun diharapkan terjadi dan dirasakan basudara MBD yang juga merindukan kehadiran DOB, Provinsi Perbatasan MBD di jantung selatan NKRI.
Kelimpahan sumber daya alam (SDA), tersedianya sumber daya manusia (SDM) di seluruh aspek pembangunan dan keterpaduan visi masyarakat dan pemerintah MBD merupakan modal utama untuk terus memekikan aspirasi kepada Pemerintah Pusat betapa MBD telah siap berdiri sebagai sebuah DOB di atas pelukan Ibu Pertiwi dan ditengah pelukan Sang Saka Merah Putih. Hakikat mendasar dari seluruh amukan isi sukma masyarakat MBD tak semata-mata karena kemiskinan masyarakat setempat di tengah kelimpahan SDAnya, akan tetapi nilai luhur perjuangan ini semata-mata ingin menyadarkan Pempus di Jakarta, bahwa Indonesia kuat karena berdiri di atas banyak kaki-kaki berbahan utama nasionalisme. Nasionalisme masyarakat MBD merupakan satu kaki, seperti kata Presiden Soekarno, yang memperkuat kaki-kaki lain dari rumah besar bernama Indonesia Raya.
Jika membangun wilayah pinggiran adalah solusi membangun Indonesia seutuhnya, memekarkan Kabupaten MBD sebagai Provinsi Perbatasan MBD adalah keniscayaan dan intisari dari bagaimana konsep Nawacita diejahwantahkan pemerintah melalui kebijakan yang pro kesejahteraan rakyat.
Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi merupakan landasan moril dan semangat utama masyarakat dan Pemerintah Kabupaten MBD untuk mendeklarasikan pemekaran calon provinsi perbatasan mereka pada petang hingga nanti di bawah semboyan ’’Kalwedo Ina Nara Ama Syali’’: salam damai untuk bapa ibu dan basudara samua. Di bawah langit, sesuai harapan masyarakat dan Pemkab MBD, akan selalu terbit cahaya kesejahteraan dan rona-rona kebahagiaan bagi orang-orang yang jujur, tulus hatinya dan tetap bekerja keras untuk memberi makna kehidupan. Tuhan Yang Empunya Kehidupan akan selalu memberkati seluruh upaya tulus ini.
Demikianlah Artikel Masuk Beranda Depan NKRI dan Jadi Arena Kepentingan Neokolonialisme Internasional Abad 21
Sekianlah artikel Masuk Beranda Depan NKRI dan Jadi Arena Kepentingan Neokolonialisme Internasional Abad 21 kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Masuk Beranda Depan NKRI dan Jadi Arena Kepentingan Neokolonialisme Internasional Abad 21 dengan alamat link https://kabarkatanya.blogspot.com/2016/11/masuk-beranda-depan-nkri-dan-jadi-arena.html
0 Response to "Masuk Beranda Depan NKRI dan Jadi Arena Kepentingan Neokolonialisme Internasional Abad 21"
Posting Komentar