Judul : Praperadilan Dalam Perspektif Hukum Tata Negara
link : Praperadilan Dalam Perspektif Hukum Tata Negara
Praperadilan Dalam Perspektif Hukum Tata Negara
(Dialetika Perkembangan Hukum dan Praktik Hukum)
Oleh
Sherlock Lekipiouw
Ketua LBH dan Klinik Hukum Fakultas Hukum Universitas Pattimura
Pengantar
Praperadilan merupakan salah satu bentuk terobosan baru dalam sistem hukum peradilan pidana Indonesia. Sebagai bentuk koreksi terhadap sistem inquisitoir sebagaimana dianut dalam HIR, praperadilan dimaksudkan sebagai mekanisme kontrol terhadap “kemungkinan” tindakan sewenang wenang penyidik atau penuntut umum dalam melakukan dan/atau menjalankan rangkaian prosedur hukum secara patut dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Oleh karena itu, secara subtansial praperadilan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan penegakan terhadap Hak Asasi Manusia. Namun demikian, perkembangan hukum tersebut incause belum sepenuhnya berbanding lurus dengan praktik hukum terhadap proses praperadilan itu sendiri. Salah satu hal menarik adalah berkaitan dengan prespektif dan konstruksi hukum terhadap lembaga praperadilan.
Dalam sudut pandang hukum kaitannya dengan kepentingan hukum, secara konseptual menarik dilihat baik dalam kedudukan hukum para pihak yang secara teoritis, adalah bahwa penasehat hukum (advokat) memiliki posisi yang disebut dengan Een objectieve beoordeling van een subjectieve positive, sebuah penilaian objektif dari sebuah posisi subjektif.
Sebaliknya penuntut umum atau penyidik, memiliki sebuah penilaian yang subjektif dari sebuah posisi yang objektif atau dikenal dengan istilah Een subjectieve beoordeling van een objectieven positie. Pada bagian lain, terdakwa dalam kedudukan penilaian yang subjektif dari sebuah posisi yang subjektif atau disebut Een subjectieve beoordeling van een subjectieve positie.
Dalam konteks yang demikian, tidak jarang perdebatan terhadap ruang lingkup kajian hukum menjadi tidak terlehakan. Apakah praperadilan merupakan wilayah hukum tata negara ataukah wilayah hukum murni hukum pidana.
Eksistensi dan Eksptesi Hukum dan Teori Hukum Dogmatik
Salah satu fungsi hukum adalah sebagai perlindungan kepentingan manusia/rakyat oleh pemerintah. Agar kepentingan manusia terlindungi,hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat juga terjadi pelanggaran hukum oleh penegak hukum itu sendiri.
Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar oleh penegak hukum itu harus juga dicari keadilannya, melalui praperadilan misalnya. Melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi kenyataan. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum apabila terjadi peristiwa konkrit.
Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang Fiat Justitiaet pereatmundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum itu sendiri (pemerintah).
Masyarakat/rakyat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum berfungsi menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum.
Hukum adalah untuk manusia oleh karenanya, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus membawa manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan/ditegakkan timbul keresahan pada masyarakat.
Ruang lingkup praperadilan sejatinya telah dibatasi dalam ketentuan Pasal77 KUHAP, namun ternyata perkembangan hukum 5 (lima) tahun terakhir telah menerobos batas-batasan tersebut dan bahkan mendahului pembahasan Rancangan KUHAP. Perkembangan hukum merupakan wujud nyata dari implementasi teori responsif yang menguraikan hukum sebagai suatu sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat.
Perluasan ruang lingkup praperadilan khususnya mengenai penetapan tersangka telah dimulai sebelumnya keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor21/PUU-XII/2014. Praktik praperadilan terkait penetapan tersangka, awal mulanya dapat ditemukan dalam Putusan Nomor : 38/http://ift.tt/1aJ3DnX.
Adapun pertimbangan hukumnya ialah menghubungkan sah atau tidaknya penetapan tersangka dengan penahanan sebagai upaya paksa kemudian ditafsirkan makna alat bukti yang cukup dalam ketentuan Pasal 21 ayat(1) KUHAP terhadap ketentuan Pasal 184 ayat (1) sehingga penetapan tersangka termasuk objek praperadilan namun mengenai penghentian penyidikan sebagai bagian dari penetapan tersangka dianggap bukan materi praperadilan.
Praperadilan dan Jaminan Hak Asasi Manusia
Demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan kepada seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, undang-undang telah memberikan kewenangan kepada penyidik dan atau penuntut umum untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka serta melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya.
Setiap upaya paksa yang dilakukan pejabat penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat tindakan yang paksa yang dibenarkan dan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku demi kepentingan pemeriksaan suatu perkara yang disangkakan, oleh karenanya setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi manusia.
Karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan ini harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (due process of law).
Sesuai dengan konteks ini maka tindakan-tindakan mentersangkakan, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan haruslah dilakukan secara yuridis formil dengan bentuk tertulis sesuai kewenangan yang diberikan peraturan perundang-undangan.
Jika dijabarkan lebih lanjut terhadap pengertian ini mengandung pula makna bahwa tindakan-tindakan pejabat yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan mengandung makna adanya asas kepastian hukum didalamnya, yaitu kepastian terhadap pejabat dan kewenangannya untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
Selanjutnya menjadikan seseorang tersangka, menangkap dan menahan berkaitan dengan menghilangkan kemerdekaan (menghilangkan Hak Asasi Manusia). Menggeledah berkaitan dengan hak pribadi (privacy), menyita berkaitan dengan perampasan hak milik orang. Hak atas kemerdekaan, privacy dan hak milik merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan dihormati oleh setiap orang dan Negara/pemerintah.
Hal ini sesuai dengan tujuan Negara Republik Indonesia yang terdapat didalam pembukaan UUD NKRI Tahun 1945 alinea ke-IV yakni “…..untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Oleh Karena itu setiap tindakan yang menghilangkan hak-hak asasi manusia tersebut menjadi kewenangan Negara untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum untuk melindunginya, dengan demikian setiap warga Negara dapat mengajukan praperadilan apabila merasa hak-hak asasinya sebagai manusia dilanggar oleh Negara/pemerintah.
Dengan mencermati hal tersebut diatas, dapat juga dikatakan apabila seseorang yang ditetapkan menjadi tersangka, ditangkap ataupun ditahan, disidik, atau dituntut tidak sesuai dengan peraturan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dapat mengajukan upaya hukum (praperadilan) kepada lembaga dibidang penegakan hukum yang mempunyai fungsi mengoreksi atas tindakan yang dilakukan oleh pejabat tata usaha Negara, baik di tingkat penyidikan maupun penuntutan melalui Praperadilan, dengan menggunakan istilah lain, dapat disimpulkan bahwa ranah praperadilan bukanlah bagian dari hukum pidana akan tetapi menjadi bagian dari Hukum Tata Negara/Hukum Adminstrasi Negara, meskipun secara hukum materilnya bagian dari hukum pidana.
Sudut pandang hukum dan perkembangan praktek hukum seyogyanya tidak menimbulkan kerapuhan akan substansi hukum itu sendiri. Perdebatan praktis hukum terhadap dinamika perkembangan praperadilan sejatinya tidak menghilangkan esensi dari tujuan hukum itu sendiri.
Sebagai produk hukum tata negara (Putusan MK) seyogyanya praperadilan dilihat dalam prespektif pemenuhan tujuan dan kepastian hukum sebagai akibat perekatan hak dan kewajiban hukum baik terhadap mekanisme hukum dalam prosedur hukum acara maupun terhadap penanganan suatu perbuatan dan/atau peristiwa hukum pidana itu sendiri yang perlu dilakukan dengan cara yang patut menurut hukum dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Demikianlah Artikel Praperadilan Dalam Perspektif Hukum Tata Negara
Sekianlah artikel Praperadilan Dalam Perspektif Hukum Tata Negara kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Praperadilan Dalam Perspektif Hukum Tata Negara dengan alamat link https://kabarkatanya.blogspot.com/2017/11/praperadilan-dalam-perspektif-hukum.html
0 Response to "Praperadilan Dalam Perspektif Hukum Tata Negara"
Posting Komentar