SATIRE DAN METAFORA DALAM CERIWIS MALUKU

SATIRE DAN METAFORA DALAM CERIWIS MALUKU - Hallo sahabat KABAR KATANYA, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul SATIRE DAN METAFORA DALAM CERIWIS MALUKU, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, Artikel Daerah, Artikel Kabar, Artikel Kabar Katanya, Artikel Maluku, Artikel Ragam, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : SATIRE DAN METAFORA DALAM CERIWIS MALUKU
link : SATIRE DAN METAFORA DALAM CERIWIS MALUKU

Baca juga


SATIRE DAN METAFORA DALAM CERIWIS MALUKU

Catatan oleh Rudi Fofid
Datanglah ke sebuah pondokan  mahasiswa Maluku di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Bandung, atau kota lain di luar Maluku.  Berikan sepucuk gitar kepada satu nyong Ambon (Maluku) makadia akan bernyanyi serangkaian lagu. Sangat mungkin dia akan bernyanyi "Beta Berlayar Jauh".

"Sioh apa tempo beta pulang ke Ambon e
Lautan lebar, gunung tapele
Mari mama gendong beta, bawa pulang dolo e
Ke tanah yang kucinta, Ambon manis e"

Sioh nyong suka, sebegitu kah?  sampai Kuliah lewat gunung dan tanjung, sampai di Tanah  Jawa, badan berotot keras, kumis tebal, ada tato harimau di lengan, jaket jins, kalung besi putih bagai rantai kapal, akar bahar pula.  Untuk pulang ke Ambon, mama harus cek jadwal kuliah dan jadwal kapal?  Mama harus pergi ke Tanah Jawa, gendong seperti bayi, timang-timang, nina bobo untuk bawa ke tanah putus pusat?

"Mari mama gendong beta, bawa pulang jua e"

Sungguh mati, ini bukan sifat kemayu Nyong Ambon.  Ini memang ungkapan melankolis, kelembutan jiwa, halusnya perasaan manusia yang sadar sebagai anak bunda.  Anak tetaplah anak, di hadapan mama yang mungkin sudah tua, kurus kerempeng, keriput dan sakit, anak adalah anak.  Anak perkasa, juara dunia tinju seperti Elyas Pical pun tetap merasa kecil di hadapan Mama Ana Pical.  Kalau turun dari ring, Elyas dengan sabuk juara akan berlari menemui Mama Ana lalu tenggelam di bahu mama.

"Mari mama gendong beta, bawa pulang jua e".  Itu hanya satu contoh saja, betapa "Bahasa Maluku" penuh dengan majas, kias. Andai pasang kuping  baik-baik, maka kita akan mendengar, menangkap banyak kata yang sangat-sangat majas.  Ada satir-satir (satire) dan metafora yang tumpah-ruah dalam hidup sehari-hari. Gaya sastra tidak terpenjara di ruang kesusastraan atau monopoli para penyair.

"Mari mama gendong beta, bawa pulang jua e".  Ini lagu Ambon.  Lagu Kei "Tanat Sus Beb" mengandung lirik yang kurang-lebih sama.

"Nen fatnim o mdo, O mfel ya'au
fo it ba il ti vel
It ba il ti did nuhu tanat
Nuhu tanat fatnim"

(Ibuku tercinta, kau datang, kau gendong aku
agar kita pulang ke sana
Kita pulang ke tanah negeri
Tanah negeri kesayangan)

Masih di Kei, urusan sayang orang tua, jeritan anak Kei cukup perih, sadis melankolis.  Ada banyak lagu yang satu nafas dengan "tanat sus beb". Dalam lagu "Renang-Yamang" misalnya.

"Nen o,  mam o
Naa dan be o 
Im bir sus-sus 
te im bir senang
mnar tul fer am o"

(Ibu, bapa
Ada di manakah?
Kesukaran kalian
atau kegembiraan kalian
Kalian ceritakanlah kepada kami).

Bukan orang Ambon saja yang melankolis dalam relasi anak dan orang tua.  Semua pulau di Maluku punya lagu tentang Ina-Ama, renang-yamang, enang-amang, dll. Orang Tanimbar punya lagu melankolis juga.  Judulnya "Dodo resin lo".  Refreinnya begini:

"Bemfirlam bwalik ko
mutungan mor enang
tolong mamfalak ber enang radu amang
kuminuse yelan kokoyak"

(Andaikan kau kembali ke kampung
bertemu dengan ibuku
tolong sampaikan kepada ibu dan bapaku
bahwa hatiku sangat sedih)

Meskipun melankolis, namun orang Maluku juga punya suasana emosional, temparamen kebahasaan sama seperti suasana alam, suasana maritim.  Kadang teduh tenang laksana cairan kaca yang diam bening. Pada lain waktu, laut tenang itu berubah berombak arus, laksana badai yang sanggup menenggelamkan kapal.

"Saya minta maaf. Saya punya suara agak keras.  Ini begini sudah karena saya punya kampung di pinggir pantai. Ombak pukul-pukul pantai jadi kami biasa bicara lawan ombak," ujar Haji Noho Renuat, Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Maluku Tenggara dalam sebuah sidang paripurna.

Ungkapan Haji Noho juga jamak kita dengar di Ambon-Lease, Gorom-Geser-Kesui, atau Banda.  Membandingkan suara anak pantai melawan ombak, dan berbicara dengan suara keras ditopang alat pelantang suara di ruang persidangan untuk meyakinkan sesama anggota DPRD atas sebuah gagasan politik, memenangkan opini, mempengarungi keputusan, adalah sebuah perilaku yang penuh metafora.

Kita bahkan bisa menemukan kata-kata dan frasa-frasa yang beterbangan di wilayah pendengaran kita, dari yang melankolis, sampai yang paling sarkas.  Dari yang paling halus atau penghalusan sampai paling kasar, pengerasan makna.

Seorang bapak memanggil anaknya berkali-kali. Ia sampai keluar rumah berteriak-teriak.  Anak itu tidak menyahut. Tiba-tiba sang anak muncul dari dalam rumah sambil kucek mata karena baru bangun tidur.

"Ayah panggil saya?" Anak itu menyahut.

Sang ayah yang sudah telanjur jengkel tingkat puncak, akhirnya kembali berjalan menuju anaknya sambil berkata: "Eh anak babi e.  Beta pangge-pangge kanapa sondor manyao".

Anak babi, anak kambing, anak anjing, anjing, anjrit, anying, jing, adalah ungkapan-ungkapan yang sering digunakan di mana-mana termasuk di Maluku.  Pada satu sisi, kedengaran sebagai bentuk kekerasan verbal.  Anak manusia disebut sebagai anak binatang.

"Anak babi e". Ungkapan ini bermakna jamak.  "Anak babi" bisa bermakna "babi anak" atau "babi yang masih kecil".  Anak babi juga bermakna "babi punya anak".  Jadi "anak babi" punya orang tua adalah sepasang babi jantan dan betina.

Metafora Maluku digunakan untung menjelaskan banyak hal.  Ketika di beberapa desa di Maluku terdengar kabar oknum kepala desa terlibat penggelapan dana desa, seorang kawan berkata dengan menggunakan gaya metafora.

"Akang susah, bung.  Bagaimana kepala desa seng korupsi? Semua liat dari kepala aer. Kaki aer kabur, itu tagal kapala aer kotor. Kalo mau kase barsi kaki aer, kase barsi kapala aer dolo."  Begitulah penjelasan hulu-hilir.

Penghalusan bahasa dalam ragam bicara orang Maluku juga banyak ditemukan. Sungguh menarik mempercakapkan anak haram jadah (zadah).  Orang Maluku mengenal istilah ini dari Arab karena ada pada istilah Islam, untuk menyatakan anak hasil hubungan di luar nikah.

Ketika seorang ayah mengetahui anak perempuannya sudah hamil di luar nikah, terbitlah murkanya.

"Katakan, siapa yang bikin bunting kau?"

Saking geramnya, ayah pakai istilah "bunting", yang dari segi penggunaan dan rasa bahasa, lebih sering ditujukan untuk hewan dan tumbuhan. Kambing bunting, cecak bunting, padi bunting.

Tetangga yang mendengar anak sebelah sudah hamil di luar nikah, lantas mengguncingkan kasus itu. "Dia sudah berbadan dua". Ungkapan "berbadan dua" sungguh halus.

Ketika perempuan itu melahirkan, istilah "anak haram jadah" kedengaran terlalu keras dan vulgar. Orang di Maluku lebih suka menyebutkan "anak tengah jalan", kendatipun makna frasa ini tetap menyakitkan. "Anak tengah jalan", artinya anak yang dihasilkan dari hubungan seksual di jalan-jalan, di hutan, main di umpu-umpu (rumput), bukan  di ranjang pengantin.  Orang Kei menyebut "anak tengah jalan" sebagai "yanad lelean". (yanad, yanan = anak, lean = kata benda untuk jalan, bukan kata kerja "ba" = jalan).

"Anak tengah jalan" adalah bentuk penghindaran dari ungkapan "anak haram jadah".  Masih ada penghalusan lagi, misalnya "dapa ana" (dapat anak).  Perempuan itu "dapa ana" dengan kekasihnya, tetapi mereka tidak menikah sampai anak itu sudah besar.

Dalam banyak kasus di Maluku, anak itu dimasukkan sebagai anak bungsu pada daftar keluarga dan akta kelahiran.  Dia bahkan dibiasakan panggil ibu kandungnya sebagai kakak, sedangkan kakek-neneknya sebagai ayah dan ibu.  Tindakan ini merupakan  menghindari rasa malu "hamil di luar nikah" dan "anak tengah jalan". Jika hal ini dilakukan secara sempurna, bahkan anak .itu sama sekali tidak tahu bahwa kakak itu sejatinya ibu kandung, maka hal ini merupakan penggelapan asal-usul.

Istilah "dapa ana", dan istilah "ana luar" masih tetap terasa vulgar.  Orang Maluku masih menciptakan istilah yang lebih damai.  Orang Ambon-Lease menemukan istilah cantik yakni "ana rumah" atau "ana dalam rumah",dan "anak perempuan".   

"Mengapa bapak A dan bapak B yang sama-sama memikul nama marga yang sama, tetapi hanya bapak B yang berhak menjadi raja?" Seorang anak bertanya kepada ayahnya.

Sang ayah menjawab bahwa jawaban atas pertanyaan itu adalah "fulik", pamali.  Jangan tanya begitu, sebab jawabannya akan berkenaan dengan martabat orang. Kalau terpaksa menjawab, sang ayah akan berbicara secara bisik-bisik di dalam rumah, sebab "dinding punya telinga".

"Bapak A itu bukan dari marga kita.  Waktu oma belum kawin dengan opa, lebih dulu oma dapat anak dengan orang kampung sebelah.  Jadi Bapak A itu anak dalam rumah, ya anak rumah.  Dalam jabatan raja, Bapak A tidak bisa sebab dia anak perempuan". 

Begitulah penjelasan,  anak perempuan.  Dalam contoh Bapak A, orang Kei menyebut "vat yanan" (perempuan punya anak).

Penyair Joko Pinurbo melukiskan kasus seperti ini dalam puisi nan elok.  "Anak Seorang Perempuan" menyatakan kebanggaan "anak luar nikah" itu, atas daya bangga ibu kandungnya yang "dapa ana":

Kini ibu saya yang cerdas terbaring sakit.
Tubuhnya makin hari makin lemah.
Dalam sakitnya ia sering minta dibacakan
sajak-sajak saya dan kadang ia mendengarkannya
dengan mata berkaca-kaca. Beberapa saat
sebelum beliau wafat, saya sempat lancang
bertanya, “Bu, saya ini sebenarnya anak siapa?”
Saya bayangkan Ibu yang penyayang itu akan
hancur hatinya. Tapi sambil mengusap kepala saya,
ia menjawab hangat, “Anak seorang perempuan.”
(Dari buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi. Puisi selengkapnya https://ift.tt/2HjvVa6)

Masih sangat banyak diksi Maluku, dari yang penuh pesona sampai yang bikin bulu badan berdiri. Dari yang bikin air mata tumpah meleleh, sampai yang bikin tanduk tumbuh.

Misalnya, seorang lelaki  bergaya pica-pica dengan kaca mata riben, tiba-tiba buang suara kepada beberapa nona yang tidak dia kenal.  Ini sekadar laipose.  Satu dari gadis itu akan berpaling lalu buang kata yang pedis.

"Su lia sang kata kes."

Setelah berkata begitu, nona-nona itupun  tertawa berderai.  Lelaki tadi bisa membalas supaya impas.

"Tatawa sam burong, bilang orang kes, padahal muka sang pimpong peot".

"Su lia sang kes". Bila frasa ini disempurnakan maka selengkapnya adalah:
"Sudah lihat sama dengan kera".  Maksud perempuan itu, (Dengan kaca mata hitam seperti, kau terlihat sudah sama dengan kera badut yang diberi kaca mata untuk menghibur penonton).

Kalau adegan berbalas kata di atas berlanjut, bisa saja muncul ungkapan yang lebih keras.

"Sio nyong, ale kira katong ini parampuang sabarang-sabarang lalu ale mau ganggu iko ale'ng suka? Stop pi.  Jang bikin beta darah tinggi nae lalu beta cukimae nae badang, beta pangge anana kampong, ale bubor".

Bila ceriwis tadi berlanjut serius, selalu ada mesin pendingan.  Satu di antara perempuan itu bisa mengambil peran sebagai pengolah bahasa yang baik.

"Sudah jua Jokhbet, itu Martenci punya kaka parampuang punya laki.  Lah Martenci ada bae-bae dengan katong, sama-sama di kelompok pecinta alam tuh. Lah katong dengan katong saja. Jang ambe di hati".

"Katong deng katong".  Ini penemuan yang hebat.  Orang Kei menyebutnya "It wat" (kita saja).  Dalam spirit "ain ni ain", ungkapan kita-kita saja, katong dengan katong adalah upaya melokalkan persoalan supaya tidak meluas menjadi sistemik.

"Cukup Sudah", bukan baru muncul dalam judul lagu kasmaran Glenn Fredly.  Orang Ambon sudah berteriak "Sampe jua" sebagai seruan damai.  Pada saat yang bersamaan, orang Minahasa meneriakkan hal yang sama "so boleh!".  Kelompok hiphop Cidade de Amboino (CDA) mengabadikannya dalam lagu "Sampe Jua" ( lihat di sini: https://www.youtube.com/watch?v=CMKKIYabqN0 ),
 
Gara-gara puisi Sukmawati Soekarnoputri, tetiba saja banyak orang ramai mempercakapkan puisi. Istilah satire muncul di mana-mana medsos.  Sungguh meyakinkan satir-satir Maluku yang kadang sarkas, kadang ironi, kadang parodi.
 
Seorang istri pulang ke rumah, malam hari.  Ia menemukan suaminya bersama sejumlah orang duduk minum sopi dan main kartu pakai uang di teras rumah.  Dia mengucapkan sepatah kata dengan suara sangat santun: "Main judi terus, minum sopi terus! Bagus!"

Baru satu menit sang istri masuk di dalam rumah, para lelaki itupun bubar.  Mereka mengerti satu kata tadi, "bagus!" sebagai satire. Bagus artinya, tidak bagus.  Dengan mengatakan secara terbalik, para lelaki itu langsung paham. 

Kecerdasan memilih diksi dan majas-majas dalam hidup hari-hari, akan membuat hidup kita lebih sentosa.

Ambon, 8 April 2018

(Penulis adalah Redaktur Pelaksana Media Online Maluku Post)


Demikianlah Artikel SATIRE DAN METAFORA DALAM CERIWIS MALUKU

Sekianlah artikel SATIRE DAN METAFORA DALAM CERIWIS MALUKU kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel SATIRE DAN METAFORA DALAM CERIWIS MALUKU dengan alamat link https://kabarkatanya.blogspot.com/2018/04/satire-dan-metafora-dalam-ceriwis-maluku.html

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SATIRE DAN METAFORA DALAM CERIWIS MALUKU"

Posting Komentar